Oleh: Irwan Kurniadi
"Macan Laot" adalah julukan yang disematkan pada Anggawiguna, salah seorang punggawa Kerajaan Sumenep yang berlabuh ke Pulau Jawa, tepatnya melalui pelabuhan Agel, Kecamatan Jangkar, Kabupaten Situbondo pada tahun 1565 seusai perang dengan pasukan Kerajaan Bali.
Macan Laot adalah dua kata dalam Bahasa Madura yaitu macan berarti macan dan laot berarti laut. Jadi artinya macan laut.
Hal itu ditegaskan oleh Sejarawan Zainollah Ahmad bahwa di Sumenep sendiri dan Kangean, kosa kasa "laot" lebih mengacu pada "laut" atau sinonim "tase' ", misalnya "baro laot" (pohon waru laut).
"Bahkan, Macan Laot dalam mitos di kepulauan, dari dongeng tetua, adalah penguasa atau jagoan di laut. Bisa pula diidentikkan dengan perompak atau bajak laut yang ditakuti Belanda pada era kolonial awal," ucap Zainollah.
Ketangguhan Anggawiguna dalam berperang membuat dirinya dijuluki atau diibaratkan macan.
Namun seusai memburu pasukan dari Bali dan berperang di Selat Madura, Anggawiguna memilih bermukim di Pulau Jawa.
Kisah perang tersebut terjadi di masa Kerajaan Sumenep yang dipimpin 2 adipati kembar yaitu Pangeran Wetan dan Pangeran Lor sejak tahun 1562.
Pada tahun 1565 Pangeran Wetan mengantarkan upeti ke Kerajaan Pajang di bawah kekuasaan Sultan Pajang Andayaningrat/Sultan Hadiwijaya/Jaka Tingkir/ Mas Karebet.
Sejarawan Tadjul Arifin menyebut, kepergian Pangeran Wetan memicu Raja Bali dengan para panglimanya yaitu Patih Kebowaju, Gusti Pamecut, Gusti Pamadi dan Gusti Jumenna untuk datang ke Kerajaan Sumenep. Mereka disambut oleh Pangeran Lor yang didampingi oleh Patih Wangsadumetra beserta pasukannya.
"Raden Ilyas Pangeran Batuputih beserta pasukannya pun ikut membantu meladeni serangan pasukan Bali. Dalam pertempuran itu, pasukan Sumenep kalah. Pangeran Lor dan Wangsadumetra tewas, termasuk juga Pangeran Batuputih," urai Tadjul.
Namun Pangeran Wetan yang sedang berada di Pajang, segera mengajak paman yang sekaligus mertuanya yakni Pangeran Jamburingin untuk menyerang dan menggempur pasukan Bali, hingga menewaskan para pembesarnya. Sehingga mayat mereka dibakar (ngaben). Saat ini tempat pembakaran itu diberi nama Karangpanasan.
"Sedangkan sisa pasukan Bali bergerak ke selatan lalu "tapapas" di pinggir sèrèng. Hal ini kemudian dijadikan penamaan desa Pinggirpapas," pungkas Tadjul.
Sementara, berdasarkan catatan makalah M. Daroen tahun 1984, punggawa Kerajaan Sumenep yang berasal dari Batuputih yaitu Anggawiguna, Anggareksa, Kertajaya dan Kertabana yang melakukan pengejaran hingga di Selat Madura, akhirnya berlabuh di Pantai Agel, sebuah Pelabuhan di Kecamatan Jangkar, saat ini.
Mereka menyebar dan memilih area hutan yang dikenal dengan sebutan Balumbang untuk membuka permukiman baru.
Wilayah Balumbang sendiri dimungkinkan toponimi dari Balumbung, yang eksis di era Kerajaan Wilwatikta/Majapahit sebagai Kadipaten. Jejak Majapahit akhir di wilayah tersebut yang tertulis diketahui pada temuan prasasti berangka tahun 1395 Saka atau 1473 Masehi.
Hingga akhir hayat, mereka dimakamkan di wilayah tempat tinggal masing-masing. Anggawiguna dimakamkan di Desa Palangan, Kecamatan Jangkar. Anggareksa, di Desa/Kecamatan Asembagus, Kertajaya di Desa Wringin Anom, Kecamatan Asembagus dan Kertabana belum diketahui makamnya.(IK)
» Klik berita lainnya di Google News SUARA INDONESIA
Pewarta | : |
Editor | : Irwan Kurnia |
Komentar & Reaksi